468x60 Ads

Minggu, 06 Mei 2012

Muhasabah

Si Alif sedang berada dalam puncak keputus-asaannya. Bagaimana tidak, dia dituntut untuk menafkahi dirinya sendiri. Dia memang orang yang kuat. Empat semester lebih uang kuliahnya sudah dibayarkan dengan keringatnya sendiri. Pantang meminta pada orang tua, kakak-kakaknya ataupun teman-temannya secara cuma-cuma. Paling tidak dia akan meminta dalam bentuk pinjaman kepada mereka. Namun itu jarang ia lakukan, karena dia senantiasa menyisihkan sebagian hasil jerih payahnya untuk ditabung. Dia juga adalah orang yang taat beragama. Senantiasa berusaha menjauhi apa yang Alloh larang. Dan senantiasa berusaha melakukan apa yang Tuhannya sukai. Hari-harinya pun berlalu tanpa menghadapi masalah yang besar, karena alhamdulillah, dia senantiasa lulus ujian kehidupan yang Tuhannya berikan. Tetapi kini, semua itu Alif rasa kian rumit dan semakin sulit.

Alif kini tidak bekerja lagi, apa yang dia rencanakan tak kian terwujud. Apa yang diusahakannya kian jauh dari sukses. Tabungannya kian hari kian menipis. Dan pada akhirnya, tabungannya pun habis ditelan kebutuhan hidup yang kian menghimpit. Uangnya habis sekarang. Baik simpanan maupun tabungan. Sementara kuliahnya sudah memasuki masa peralihan. Dari semester yang satu ke semester yang lain. Dia butuh uang itu, kalo tidak dapat, akan ada sanksi dari kampus. Entah dikeluarkan, entah tidak boleh UAS, entah tidak boleh seminar, dan lain sebagainya. Sebelumnya, semesester yang dulu pun ia mengalami krisis finansial. Ia terpaksa harus meminjam uang sana sini untuk menyelamatkan kuliahnya. Pekerjaan belum ada, tapi uang kuliah semakin mendesak harus dibayar. Alif benar-benar sedang terdesak.

Alif mulai mengadakan evaluasi diri. Apa yang salah dalam diri ini? Begitu yang ia ucap dalam hati. Dia teringat akan kata-katanya, untuk seorang teman yang sedang dalam ujian hidup. Seorang teman itu nekat menjadi agnostik. Dia sudah ilfil dengan Tuhan. Dia mempercayai keberadaan Tuhan, tapi dia tidak menyembahnya. Dia kafir terhadap semua agama. Saat itu, ingin rasanya Alif berdiskusi dengan temannya itu. Bicara begini dan begitu. Meluruskan akidahnya yang rusak. Agar dia tidak celaka. Agar dia tidak hina. Agar dia terlindung dari neraka. Bahwa rezeki itu ditangan Alloh. Bahwa rezeki itu terhambat karena beberapa alasan. Begini dan begitu. Namun, semua itu hanyalah teori Alif saja. Memang alif merasakan betapa tersiksanya menjadi orang susah. Karena itulah dia sangat yakin untuk berbincang dengan teman agnostiknya. Atau mungkin karena cobaan finansialnya lebih berat dari yang Alif hadapi? Mungkin karena itu dia menjadi agnostik.

Apapun itu, kini Alif mungkin mengalami apa yang mungkin terjadi pada teman agnostiknya itu. Begitu berat cobaan finansial yang dialami. Begitu sempit terasa hidup ini. Begitu terasa betapa Tuhan tidak adil. Betapa banyak do’a yang diucapkan dalam hati. Sesudah sholat. Secara khusuk. Namun apa yang didapat? Tidak ada. Tidak ada do’a dikabulkan kepada Alif. Hidupnya semakin sempit. Makin malu dia pada keluarganya. Kini hidupnya hanya berkisar pada makan, tidur, beribadah, berulang lagi tiap hari dan tiap hari berulang lagi. Meminjam uang? Pada siapa? Pada teman? Teman yang mana lagi? Mereka semua masih sebaya dengannya. Rata-rata masih merengek menunggu uang dari orang tua. Hanya sedikit saja yang sudah bekerja. Tapi teman yang sudah bekerja yang mana lagi yang bakal Alif minta bantuan pinjamannya? Sebagian Alif meminjam uang kepada meraka sebelumnya. Meminta kepada keluarga? No Way!!! Alif pantang meminta lagi pada mereka. Mencari pekerjaan. Bagaimana? Untuk ongkos saja tidak ada. Begitulah pikiran-pikiran yang ada pada Alif sekarang ini. Kini dia diambang keputus-asaan. Nyaris mengalami apa yang temannya alami. Tapi alhamdulillah. Dia masih sadar. Masih sadar akan dirinya. Kedudukannya didunia. Keadaan dunia. Kiat apa yang harus dilakukan saat seperti ini terjadi dalam hidup. Alhamdulillah.

Alif adalah orang yang suka membaca. Salah satu bacaannya adalah bacaan tentang agama. Salah satu tokoh idolanya adalah AA GYM. Ingin sekali Alif memeluk tokoh tersebut. Siraman rohaninya senantiasa menyejukan kalbu. Tapi sudah sunatullah. Mungkin dan hampir bisa dipastikan “pasti”, keberadaan ulama ini makin hari makin menggerahkan sosok-sosok yang kontra terhadapnya. Yach setan memang ada dimana-mana. Termasuk setan berjenis manusia. Yang bermulut manis berhati busuk. Itulah nasib ulama yang zuhud. Kebanyakan nasib mereka, kalo tidak dipenjara karena fitnah–seperti di palestina, afganistan, mesir–, pastilah difitnah. Mereka menunggu kesempatan untuk menyerang. Bagaikan serigala licik menunggu mangsa lalai. Isu poligami merupakan isu yang tak populer di masyarakat modern sekarang. Padahal itu salah satu tatanan hidup umat manusia sejak dulu, lalu agama Islam datang menertibkannya, membolehkan dan mengaturnya. Saat ulama itu memutuskan untuk berpoligami, maka segala macam fitnah, propaganda, intimidasi, pemblokiran, penolakan acara dan lain-lain pun dilakukan para serigala itu. Serigala itupun sukses. Banyak orang yang meninggalkannya. Bahkan orang-orang Islam sekalipun terkesan jijik dengan beliau. Sungguh malang nian nasib mu wahai Aa. Kami yang mencintaimu pun ikut menjadi malang. Kami kian jarang mendapatkan siraman sejuk nasihat-nasihatmu. Itulah sebagian nasib para ulama-ulama zuhud yang ada.

Saat yang kritis ini, Alhamdulillah Alif diberi petunjuk oleh Alloh sang Maha Penyayang. Alif menemukan buku yang berjudul “Kedasyatan Doa” karya sang tercinta Abdullah Gymnastiar.

Alif berkata dalam hati, “aku sudah sering berdoa tapi jarang yang dikabulkan, adakah nasihat tentang doa dari Aa untukku yang belum kuketahui?” betapa sombongnya alif.

Alif sebenarnya sudah malas memikirkan tentang doa. Tapi buku ini membahas tentang doa. Ditulis oleh tokoh yang dia cinta. Bisa jadi Alloh pun sangat mencintai Aa.

Buku itupun ia raih dan baca. Bab pertama pun ia baca. “Hakikat Doa”. Itulah judul dari Bab I buku tersebut. Alif tersentak, tiba-tiba air matanya terasa mengalir menuju pipi. Sebuah riwayat yang diceritakan oleh Ibn Husain. Isinya tentang firman Alloh SWT yang berbunyi:



“Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku dan juga demi kemurahan dan ketinggian kedudukan-Ku di atas Arsy. Aku akan mematahkan harapan orang yang berharap kepada selain Aku dengan kekecewaan. Akan Aku pakaikan kepadanya pakaian kehinaan di mata manusia. Aku singkirkan ia dari dekat-Ku, lalu Kuputuskan hubungan-Ku dengannya.

Mengapa ia berharap kepada selain Aku ketika dirinya sedang berada dalam kesulitan, padahal susungguhnya kesulitan itu berada ditangan-Ku dan hanya Aku yang dapat menyingkirkan-nya? Mengapa ia berharap kepada selain Aku dengan mengetuk pintu-pintu lain padahal pintu-pintu itu tertutup? Padahal, hanya pintu-Ku yang terbuka bagi siapapun yang berdoa memohon pertolongan dari-Ku.

Siapakah yang pernah mengharapkan Aku untuk menghalau kesulitannya lalu Aku kecewakan? Siapakah yang pernah mengharapkan Aku karena dosa-dosanya yang besar, lalu Aku putuskan harapannya? Siapakah pula yang pernah mengetuk pintu-Ku lalu tidak Aku bukakan?

Aku telah mengadakan hubungan yang langsung antara Aku dengan angan-angan dan harapan seluruh mahluk-Ku. Akan tetapi, mengapa mereka malah bersandar kepada selain Aku? Aku telah menyediakan semua harapan hamba-hamba-Ku, tetapi mengapa mereka tidak puas dengan perlindungan-Ku.

Dan Akupun telah memenuhi langit-Ku dengan para malaikat yang tiada pernah jemu bertasbih pada-Ku, lalu Aku perintahkan mereka supaya tidak menutup pintu antara Aku dan hamba-hamba-Ku. Akan tetapi, mengapa mereka tidak percaya kepada firman-firman-Ku. Tidakkah mereka mengetahui bahwa siapa pun yang ditimpa oleh bencana yang Aku turunkan tiada yang dapat menyingkirkannya kecuali Aku? Akan tetapi, mengapa Aku melihat ia dengan segala angan-angan dan harapannya itu, selalu berpaling dari-Ku? Mengapakah ia sampai tertipu oleh selain Aku?

Aku telah memberikan kepadanya dengan segala kemurahan-Ku apa-apa yang tidak sampai harus ia minta. Ketika semua itu Aku cabut kembali darinya, lalu mengapa ia tidak lagi memintanya kepada-Ku untuk segera mengembalikannya, tetapi malah meminta pertolongan kepada selain Aku?

Apakah Aku yang memberi sebelum diminta, lalu ketika diminta tidak Aku berikan? Apakah Aku ini bakhil, sehingga dianggap bakhil oleh hamba-Ku? Tidakkah dunia dan akhirat itu semuanya milik-Ku? Tidakkah semua rahmat dan karunia itu berada di tangan-Ku? Tidakkah dermawan dan kemurahan itu adalah sifat-Ku?

Tidakkah hanya Aku tempat bermuaranya semua harapan? Dengan demikian, siapakah yang dapat memutuskannya daripada-Ku?

Apa pula yang diharapkan oleh orang-orang yang berharap, andaikan Aku berkata kepada semua penduduk langit dan bumi, ‘Mintalah kepada-Ku!’ Akupun lalu memberikan kepada masing-masing orang, pikiran apa yang terpikiri pada semuanya.

Dan semua yang kuberikan itu tidak akan mengurangi kekayaan-Ku meskipun sebesar debu. Bagaimana mungkin kekayaan yang begitu sempurna akan berkurang, sedangkan Aku mengawasinya?

Sungguh alangkah celakanya orang yang terputus dari rahmat-Ku. Alangkah kecewanya orang yang berlaku maksiat kepada-Ku dan tidak memperhatikan Aku. Dan tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang haram seraya tiada malu kepada-Ku.”



Begitu mengena firman Alloh tersebut kedalam lubuk hati alif.

“Duhai Alloh-ku, maafkan pikiran-pikiran buruk yang terpatri dalam hatiku selama ini. Hamba begitu malu membacanya. Engkau senantiasa memberi tanpa diminta. Kesehatanku. Udara ini. Ampunan ini. Kelancaran ini. Nasi putih yang nikmat ini. Iman Islam ini. Keluarga ini. Orang tua ini. Teman-teman dan para sahabat. Mata ini. Telinga ini. Rasa ini. Hati ini. Akal ini. Begitu banyak ya Alloh-ku. Begitu banyak yang hamba tak minta tapi engkau senantiasa beri. Yaa Alloh yaa Rohiim. Ampunilah hambamu ini. Ampunilah hambamu ini ya Alloh Tuhanku. Tuhan semesta alam. Hanya satu Tuhanku. Alloh Swt. Engkau-lah Tuhanku ya Alloh. Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakan. Hanya engkau yaa Alloh. Ampunilah dosaku.”

Begitulah hati seorang alif begitu membaca buku itu. Buku yang berisi firman Alloh tersebut. Begitu dalam. Begitu mengena. Hingga begitu malu Alif membacanya. Ia pun melanjutkan membaca buku tersebut. Sampai pada apa yang selama ini dia sanksikan. “Hakikat Do’a.”

Hakikat do’a menurut buku itu adalah “penuntun kita untuk mengubah diri”. Alif kaget membacanya. Ternyata selama ini dia telah salah sangka terhadap apa yang dia yakini. Doa adalah penuntun kita. Bukan pengabul keinginan kita dari Alloh. Lebih lanjut buku itu mengumpamakan do’a, bahwa do’a adalah seperti pupuk. Pupuk akan membuat bibit tumbuh sedemikian pesat, berbuah banyak, dengan bunga dan daun yang lebat. Itulah masalahnya. Selama ini Alif hanya berdo’a saja. Tidak berusaha. Lantas apa yang akan tumbuh bila kita hanya menebar pupuk??? Sejak saat itu terbukalah pikiran Alif. Alhamdulillah yaa Rohiim. Bahwa yang salah dari dirinya adalah tidak adanya perbaikan diri. Dia kurang professional dalam mencari rizki. Sedang diluar sana orang berlomba-lomba mengasah kemampuan. Menjadi yang terbaik.

Buku itupun mengutip bait salah seorang tokoh besar Islam. Ibn Ath-Tha’illah. Bait-bait katanya seolah menyindirnya. Memaksanya untuk insyaf. Kembali kepada jalan-Nya yang lurus. Beliau berkata dalam kitabnya yang terkenal, Al-Hikam:



“Bagaimana engkau menginginkan sesuatu yang luar biasa padahal engkau sendiri tak mengubah dirimu dari kebiasaanmu? Kita banyak meminta, banyak berharap kepada Alloh, tapi sibuknya meminta kadang membuat kita tak sempat menilai diri sendiri. Padahal kalau kita meminta dan berakibat kita mengubah diri, maka Alloh akan memberi apa yang kita minta. Karena sebetulnya doa itu adalah pengiring agar kita bisa mengubah diri kita. Jika kita tidak pernah mau mengubah diri kita menjadi lebih baik maka tentu ada yang salah dengan permintaan kita.”



Benar-benar Alif merasa malu semalu-malunya terhadap apa yang dia baca ini. Begitu mengena. Betapa manusia begitu bodohnya. Meminta dan terus meminta tanpa ada yang dia perbaiki. Tanpa ada yang dia usahakannya. Saat diberi, dia lupa. Saat diambil apa yang menjadi “titipan-Nya”, lalu dia berkeluh kesah. Saat uang tak ada, dia bagaikan orang yang sengsara lahir batin. Dia begitu berkeluh kesah meratapi dalam hati tentang ketidak-adilan Alloh terhadapnya. Dia tidak sadar akan apa yang dia punya. Kesehatan yang sangat mahal harganya itu dia lupakan. Dia ganti dengan cemooh kepada Tuhan. Lantas apa yang dilakukan Alloh? Alloh senantiasa memberi terus kesehatan itu tanpa diminta.

Alhamdulillah, sebuah buku yang dibahas pada buku Kedasyatan Doa karya sang tercinta Aa Gym, yaitu Al-Hikam, Alloh mempertemukannya dengan sang Alif. Alif pun membacanya. Didalamnya Alif benar-benar dibuat malu lagi. Didalamnya tertulis pesan, layaknya teguran kepada Alif. Sebuah bait yang menggetarkan orang-orang bodoh yang meratapi dirinya karena kesusahan dunia. Sebuah bait yang terkandung didalam kitab sang tersohor Ibn Atha’illah, yang berbunyi:



“Sungguh bodoh dan dungu bila engkau mencemaskan hal yang kecil dan melupakan sesuatu yang besar. Yang mestinya kau cemaskan adalah akankah engkau mati dalam keadaan muslim atau kafir? Akankah engkau bahagia atau celaka? Risaukanlah neraka yang kekal abadi itu. Risaukanlah apakah pada hari kiamat engkau akan menerima kitab catatan amal dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Inilah yang seharusnya kau risaukan. Jangan merisaukan masalah sesuap nasi yang hendak kau makan atau seteguk minuman yang akan kau minum. Mungkinkah sang Majikan yang menjadikanmu sebagai pelayan takkan memberimu makan? Mungkinkah engkau yang sedang ada dalam tempat jamuan disia-siakan?



Lalu bait yang lain:



“Orang yang risau dengan urusan dunia dan lalai terhadap urusan akhirat, seperti orang yang didatangi binatang buas yang siap menerkam. Tapi, ia malah sibuk mengusir lalat dari wajahnya daripada berlindung dari terkaman binatang buas tadi. Tentu saja orang tersebut sangat dungu dan tak punya akal. Seandainya berakal, pastilah ia sibuk berlindung dari serangan singa ketimbang memikirkan lalat kecil yang tidak ada artinya.”



Sungguh jiwa ini mengiyakan semua apa yang beliau katakan pada kitab Al-Hikamnya. Betapa bodohnya diri Alif. Sampai-sampai mengotori hatinya dengan mencemooh Tuhan yang Maha Suci didalam hatinya.

“Yaa Alloh-ku, ampunilah sekian banyak dosaku ini. Janganlah engkau menjauhkanku pada jalan-Mu yang lurus. Janganlah Engkau bosan mengampuni dosa-dosaku Yaa Rohiim. Celakalah hamba bila Engkau membiarkanku pada ketidak-tahuanku. Celakalah aku bila Engkau tidak mengampuni-Ku” berbagai permohonan ampun dalam hati Alif diucapkannya. Dia benar-benar takut akan siksa-Nya. Dia benar-benar telah bersalah.

Berbagai nasihat dilontarkan Ibn Ath-Tah’illah kepadanya. Berbagai teguran Alloh, terasa sangat mendalam pada tulisan-tulisannya. Berbagai pertanyaan hati Alif kian banyak yang terjawabkannya. Sungguh betapa Ibn Atha’illah seperti mengerti benar apa yang dialami oleh Alif. Mungkin Ibn Atha’illah sudah muak dengan rengekan, tangisan, dan keluhan para manusia di zamannya, yang tidak menggunakan akalnya dalam menghadapi kehidupan. Oleh karena itulah, lewat pengetahuan yang telah Alloh berikan kepadanya, beliau menulis kitab tersebut untuk dibaca oleh manusia. Dan dia berhasil melakukannya kepada Alif. Kini Alif tersadar dari nafsunya.

Memang kita harus mengenal diri kita. Terutama nafsu kita. Jadikanlah dia sebagai anjing liar yang kita karantina, kita beri makan dan kita bina dengan berpuasa dan ilmu, sehingga menjadi anjing yang berguna bagi kita. Membantu kita sepenuh jiwa layaknya anjing yang setia. Bukan anjing liar yang menjerumuskan pada lembah dosa, kesia-siaan dan kehinaan. Alifpun akhirnya menyadari kesalahannya, dia pun bertobat dan mendapat satu lagi ilmu kehidupan dari universitas kehidupan.


Muhammad Nafis Abdullah

jalanroda[at]gmail.com

0 comments:

Posting Komentar

Silakan isi box ini jika ingin berkomentar